Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Orang miskin dilarang sakit


Ponari sekarang udah jadi selebritis papan atas di negeri ini. Stasiun tv mana yang tidak pernah memberitakan Ponari secara eksklusif? Tidak ada yang mau ketinggalan. Ternyata yang ikut berdesak-desakan di halaman rumah Ponari bukan hanya pasien saja. Tapi para kuli tinta juga tidak ingin ketinggalan.
Seandainya anda dihadapkan pada pilihan untuk berobat, anda akan memilih dokter yang menyembuhkan secara medis atau ponari yang konon bisa menyembuhkan penyakit hanya dengan batu ajaibnya?
Jawabannya pasti beragam. Bagi anda yang berduit pastinya akan lebih memilih berobat ke dokter yang mengobati secara lebih logis daripada harus berdesak-desakan mengantri di depan rumah Ponari. Namun bagi kaum miskin, mereka cenderung memilih berobat ke dukun kecil itu. Realitas menyedihkan yang terjadi dalam masyarakat kita. Itulah fenomena yang terjadi di balik cerita Ponari. Cermin keputusaan rakyat untuk mendapat perawatan dokter ternyata disambut dengan harapan akan batu ajaib milik Ponari.
Masyarakat kita sekarang ini tidak mampu berobat ke rumah sakit karena dirasakan biayanya sangat mahal. Pelayanan kesehatan bagi rakyat miskin yang diselenggarakan oleh pemerintah pun belum menjangkau keseluruhan masyarakat, sehingga kemunculan Ponari ini bagaikan angin segar bagi masyakat kelas bawah yang putus asa.

Saya ingin mengkritisi buruknya pelayanan kesehatan di Indonesia. Untuk wilayah ASEAN saja, Indonesia menempati urutan teratas. Saya heran kenapa untuk hal-hal buruk, kita seringkali tampil sebagai sang jawara. Ada apa dengan bangsa ini?
Mungkin kita akan dengan bangga mengatakan bahwa dulu Indonesia adalah negara yang lebih maju dibanding Malaysia. Itu dulu. Sekarang malah kita jauh tertinggal dari negara serumpun itu, hampir dalam segala bidang. Terutama dalam bidang kesehatan. Fakta bahwa lebih banyak orang Indonesia yang lebih memilih berobat ke Malaysia, karena mereka masih paranoid dengan dokter-dokter di negerinya sendiri. Kita telah sering dikecewakan oleh dokter hasil dalam negeri. Adanya diagnosa yang salah, malpraktek, dan ”tambahan” obat-obatan yang tidak perlu, adalah kasus yang lazim kita temui. Di benak masyarakat kita, dokter di Indonesia telah mempunyai stereotip ”teledor”.
Masalah kesehatan itu kan gak main-main. Orang berobat ke dokter itu pastinya dengan suatu harapan bisa sembuh, bukan makin dibuat lebih parah kan?
Dari sekian banyak dokter spesialis di Indonesia, saya sangat yakin bahwa hanya segelintir persen yang benar-benar bisa diandalkan. Bobroknya moral dunia kedokteran sebenarnya sudah dimulai sejak awal proses bagaimana seseorang itu bisa masuk di fakultas kedokteran. Biaya kuliahnya aja udah selangit. Konon lagi mereka-mereka yang mengambil jalur ekstensi. Biayanya pasti lebih tinggi. Parahnya lagi bagi mereka yang berduit dan kuliah di kedokteran hanya untuk menjaga gengsi. Motivasi mahasiswanya juga berbeda-beda kan. Bayangin aja jika salah satu bidang paling vital di negeri ini, yaitu bidang kesehatan ditangani oleh lulusan fakultas kedokteran yang bermotivasi untuk mendapat ”duit”.
Pantas saja begitu mahalnya harga kesehatan di Indonesia. Kebanyakan dari mereka (saya tidak mengatakan semua), membuka praktek dan menetapkan tarif mahal kepada pasiennya agar bisa ”balik modal”. Tanpa peduli apakah pasien itu kaya atau miskin. Ini bukan hanya pendapat saya, tapi ini adalah pendapat publik. Pasien hanya dijadikan komoditas untuk memperkaya dokter.
Oke lah jika sekarang pemerintah mengadakan askeskin dan berobat murah bagi rakyat kurang mampu. Lantas apakah masalahnya selesai? Tidak.
Seringkali kasus yang terjadi di lapangan, adanya sikap diskriminatif terhadap pengguna askeskin. Berharap mendapatkan pelayanan kesehatan, mereka dijadikan pasien kelas dua.
Contoh kasus nih ya, ada pasien kurang mampu yang udah sekarat berobat ke rumah sakit. Apakah ketika pasien itu tiba langsung pelayanan yang didapat? Tidak.
Jika pasien itu kurang mampu, maka harus ada surat keterangan tidak mampu dulu, sayangnya belum semua masyarakat miskin mendapat hak askeskin. Untuk membuat askeskin itu pun tidak gampang. Tau sendirilah bagaimana ribetnya birokrasi di Indonesia. Harus ada syarat ini itulah. Rakyat miskin dibuat makin susah.
Pihak rumah sakit lebih mengutamakan pasien yang ”membayar” daripada pasien yang hanya bermodal askeskin. Biarpun keadaan darurat, tetap saja mereka harus rela berada di ”daftar tunggu” setelah pasien yang membayar.

Jika anda miskin, jagalah kesehatan anda sebaik mungkin
atau
Rakyat Miskin Dilarang Sakit

Sepertinya tanda peringatan seperti itu bisa menjadi cara alternatif bagi rumah sakit-rumah sakit sombong yang kurang bersahabat bagi rakyat miskin. Inilah ironi yang terjadi pada masyarakat kita. Anda kaya? Silahkan sewa dokter terhebat dan dapatkan perawatan terbaik kelas dunia. Tapi jika anda miskin, silahkan tidur kembali diatas kasur reot anda dan bermimpi bahwa akan ada dokter spesialis baik hati yang akan mengobati anda secara gratis.